Satu Bulan Berlalu....
Anton masih tetap di seberang sana, skripsinya udah beres dari dua minggu yang lalu. Soft file dikirim lewat e-mail, dan setiap malam kita tidak lagi membicarakan dia disana gimana dan gue disini gimana.
Ada pembahasan yang baru, skripsi, skripsi yang dia gue bikin atas nama dia, setiap malam gue tes kemampuannya untuk memahami skripsinya. Kalo gue yang jadi dosen pembimbingnya bakal gue suruh bikin ulang deh, karena tau itu bukan karyanya, hehe.
Tapi karena gue teman yang baik dan sangat mengerti kemampuan otak dia sampai dimana, jadi apa yang gue kasih dia langsung faham dan gak butuh waktu banyak untuk revisi cuman karena dia gak faham.
Perdebatan setiap malam soal bahan skripsinya, ya gue bisa sampai berantem kalo ngobrolin soal tugas, apalagi skripsi bukan hal yang main-main.
Anton termasuk anak yang enak untuk diajak ngobrol soal apapun, ketika dia serius semua yang diucapkan tidak pernah main-main dan selalu ada solusi, tapi kalo dia mulai bercanda maka jangan pernah berharap apa yang dia ucapkan itu bener, karena gue bisa pastikan 90 persen bohong dan 10 persennya hanya dia dan tuhan yang tahu.
"Cape ah, ngomong bener terus dari tadi."
Anton mulai mengalihkan pembicaraan, ya, udah satu minggu ini kita gak bercanda dan selalu serius. Kita mulai menutup obrolan tentang skripsi, dan kita anggap semua selesai dan kita siap menghadapi sidang yang tinggal empat bulan lagi.
"Eh lu tau gak?"
"Apa?"
"Gue lagi nyuekin si Lestari."
"Lah, kenapa emangnya?" ini pertama kalinya gue benar-benar merasa kepo, mungkin karena ini pertama kalinya juga dia mau membuka pembicaraan duluan tentang Lestari.
"Pokoknya ya, rasa nyaman gue udah ilang aja sama dia, dia mulai banyak nuntut, sementara lu taulah gue kayak gimana."
"Ya, lu cuek kayak bebek."
"Haha..."
Anton pun akhirnya mulai menceritakan hal yang berbau pribadi, untuk pertama kalinya dia menceritakan tentang si Lestari, dari awal pertemuan mereka hingga hal-hal detail yang bikin dia tertarik ke Lestari dan hal yang dia gak suka dari sosok ceweknya itu.
Dan untuk pertama kali juga gue merasa tertarik dengan obrolan ini, bukan bermaksud untuk mencampuri kehidupan dia cuman gue ngerasa Anton lagi perlu teman yang untuk mendengarkan. Dan ada beberapa nada yang terdengar bercanda, tak lagi seius. Disanalah gue mulai binggung apa yang dia lagi serius atau bercanda.
Tak terasa dua jam dia cerita sana-sini, hingga sampai dititik dia bilang "Gue mau udahan."
Saat dia bilang gitu gue binggung harus merespon seperti apa. "Gue mau ngelamar seorang gadis yang gue kenal beberapa tahun terakhir," dia melanjutkan, jujur ada rasa sedih sekaligus kecewa saat mendengarnya, siapakah gadis itu? apa gadis yang penah dia ceritakan dulu? gadis Cianjur yang bikin dia terpesona sehingga dia rela bulak-balik Bandung-Cianjur kalo libur.
Ya, dulu dia pernah bilang "Cek, gue kalo libur ke Cianjur terus, lu kapan-kapan ikut ya, gue kenalin," dia yang lebih rela ngabisin liburannya di Cianjur ketimbang pulang ke Jakarta bertemu keluarganya.
Setiap dia bilang Cianjur, gue ngerasa cemburu, entah karena dia udah gak punya waktu main sama gue atau sebenarnya ada hal lain yang gue rasain? gue masih belum bisa menjawabnya.
"Bukan si Lestari yang mau lu lamar?"
"Bukan, ada gadis lain sebenarnya, jauh sebelum gue kenal si Lestari."
"Siapa?" nada gue semakin kepo dan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"Haha, sejak kapan lu kepo?"
"Yaudah."
"Ah, mulai deh lu cuman respon, yaudah, ok, terus, terserah, gak papa. Bete tau gak kalo lu udah respon kayak gitu."
Entah kenapa gue ngerasa mulai sedikit emosi, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri obrolan malam ini.
Bersambung....
Anton masih tetap di seberang sana, skripsinya udah beres dari dua minggu yang lalu. Soft file dikirim lewat e-mail, dan setiap malam kita tidak lagi membicarakan dia disana gimana dan gue disini gimana.
Ada pembahasan yang baru, skripsi, skripsi yang dia gue bikin atas nama dia, setiap malam gue tes kemampuannya untuk memahami skripsinya. Kalo gue yang jadi dosen pembimbingnya bakal gue suruh bikin ulang deh, karena tau itu bukan karyanya, hehe.
Tapi karena gue teman yang baik dan sangat mengerti kemampuan otak dia sampai dimana, jadi apa yang gue kasih dia langsung faham dan gak butuh waktu banyak untuk revisi cuman karena dia gak faham.
Perdebatan setiap malam soal bahan skripsinya, ya gue bisa sampai berantem kalo ngobrolin soal tugas, apalagi skripsi bukan hal yang main-main.
Anton termasuk anak yang enak untuk diajak ngobrol soal apapun, ketika dia serius semua yang diucapkan tidak pernah main-main dan selalu ada solusi, tapi kalo dia mulai bercanda maka jangan pernah berharap apa yang dia ucapkan itu bener, karena gue bisa pastikan 90 persen bohong dan 10 persennya hanya dia dan tuhan yang tahu.
"Cape ah, ngomong bener terus dari tadi."
Anton mulai mengalihkan pembicaraan, ya, udah satu minggu ini kita gak bercanda dan selalu serius. Kita mulai menutup obrolan tentang skripsi, dan kita anggap semua selesai dan kita siap menghadapi sidang yang tinggal empat bulan lagi.
"Eh lu tau gak?"
"Apa?"
"Gue lagi nyuekin si Lestari."
"Lah, kenapa emangnya?" ini pertama kalinya gue benar-benar merasa kepo, mungkin karena ini pertama kalinya juga dia mau membuka pembicaraan duluan tentang Lestari.
"Pokoknya ya, rasa nyaman gue udah ilang aja sama dia, dia mulai banyak nuntut, sementara lu taulah gue kayak gimana."
"Ya, lu cuek kayak bebek."
"Haha..."
Anton pun akhirnya mulai menceritakan hal yang berbau pribadi, untuk pertama kalinya dia menceritakan tentang si Lestari, dari awal pertemuan mereka hingga hal-hal detail yang bikin dia tertarik ke Lestari dan hal yang dia gak suka dari sosok ceweknya itu.
Dan untuk pertama kali juga gue merasa tertarik dengan obrolan ini, bukan bermaksud untuk mencampuri kehidupan dia cuman gue ngerasa Anton lagi perlu teman yang untuk mendengarkan. Dan ada beberapa nada yang terdengar bercanda, tak lagi seius. Disanalah gue mulai binggung apa yang dia lagi serius atau bercanda.
Tak terasa dua jam dia cerita sana-sini, hingga sampai dititik dia bilang "Gue mau udahan."
Saat dia bilang gitu gue binggung harus merespon seperti apa. "Gue mau ngelamar seorang gadis yang gue kenal beberapa tahun terakhir," dia melanjutkan, jujur ada rasa sedih sekaligus kecewa saat mendengarnya, siapakah gadis itu? apa gadis yang penah dia ceritakan dulu? gadis Cianjur yang bikin dia terpesona sehingga dia rela bulak-balik Bandung-Cianjur kalo libur.
Ya, dulu dia pernah bilang "Cek, gue kalo libur ke Cianjur terus, lu kapan-kapan ikut ya, gue kenalin," dia yang lebih rela ngabisin liburannya di Cianjur ketimbang pulang ke Jakarta bertemu keluarganya.
Setiap dia bilang Cianjur, gue ngerasa cemburu, entah karena dia udah gak punya waktu main sama gue atau sebenarnya ada hal lain yang gue rasain? gue masih belum bisa menjawabnya.
"Bukan si Lestari yang mau lu lamar?"
"Bukan, ada gadis lain sebenarnya, jauh sebelum gue kenal si Lestari."
"Siapa?" nada gue semakin kepo dan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"Haha, sejak kapan lu kepo?"
"Yaudah."
"Ah, mulai deh lu cuman respon, yaudah, ok, terus, terserah, gak papa. Bete tau gak kalo lu udah respon kayak gitu."
Entah kenapa gue ngerasa mulai sedikit emosi, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri obrolan malam ini.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar