Babak baru kehidupan gue Anton masih berlanjut, kali ini, gue yang merasa kehilangan dirinya. Anton pergi.
Kehidupan di kampus hampir berakhir, gue dan Anton saat ini mulai disibukan dengan 'skrip-shit' sebenarnya kerangka yang gue punya udah untuk menyusun skripsi udah ada, tinggal masukin data-datanya aja. Tapi, saat ini fokus gue mulai teralihkan gara-gara sikap bodoh si Anton.
"Njir, lu serius? ah elu, bercanda kali ini gak lucu."
"Gue serius Cek, gue mau cabut"
"Kemana? terus skripsi lu?"
"Tolong kerjain ya sama lu, nanti gue bayar deh, terserah lu minta apa aja gue kasih," nadanya emang tak terdengar bercanda, tapi raut wajahnya yang datar selalu berhasil bikin gue bingung. Secara, dia kalo ngomong serius atau bercanda gak ada ekspresinya.
"Ogah! Kerjain sendiri."
Anton pun langsung menunjukan beberapa e-mail yang dikirim ke dia dari sebuah perusahaan survei ternama yang ada di Jakarta.
"Gak, gue gak setuju. Kalo prediksinya meleset gimana? pas lu bimbingan buat skripsi gimana? parahnya kalo lu belum balik pas waktunya sidang gimana?"
Lagi-lagi Anton mengeluarkan jurusnya, memelas, dan kali ini gue gak mempan dengan jurusnya. Tak mau menyerah, Anton kembali menjelaskan tugasnya dia yang hampir tiga bulan. Sebenarnya, gue udah faham, karena dia udah melakoni pekerjaan ini sejak awal ngampus, atau lebih tepatnya sejak pertama kali gue kenal dia.
"Cek, gak nyampe tiga bulan kok yang ini, karena tim-nya hampir 100 orang dari seluruh Indonesia, ini kesempatan emas!"
"Okey, dalam waktu tiga bulan lu gak balik ke Bandung jangan harap masih bisa jadi temen gue," akhirnya gue menyerah.
"Siap kapten, sidang masih 5 bulan lagi, dan gue bakal balik 3 bulan lagi, dan lu orang pertama yang gue temuin."
Anton bekerja dengan beberapa perusahaan survei ternama di Jakarta, setahun dua kali dia pasti ke luar kota untuk survei. Terkadang dalam satu tahun dia bisa tiga kali, dan sekali survei bisa 1-3 bulan, tergantung tempatnya. Lalu kuliahnya? dia hampir di DO (Drop Out)!
Karena pernah gak masuk selama 3 bulan, tapi tugas masuk semua? siapa lagi kalo bukan gue yang ngerjain, jadi faham kan kenapa anak-anak suka sirik banget sama dia? karena dia punya temen sebaik dan sehebat gue, haha... (narsis dikit)
Untungnya lagi, otaknya dia agak pinter dan houmble ke siapa aja, termasuk cenderung yang dekat dengan dekan. Curang!!
Dan selama ini, dia nyimpen semua duitnya di atm gue. Dikira gue emaknya kali ya, yang ngurus keuangannya, udah ngurus tugas dia, ngurus kalo dia mau berangkat, ngurus apapun yang berkaitan dengan dia deh, jadi wajar kalo Lestari (pacarnya) cemburu banget ke gue. Soalnya, si Anton gak pernah cerita hal ini ke pacarnya atau ke keluarganya, cuman ke gue.
Kalo diitung-itung ya, udah ada Rp200 juta lebih duitnya di ATM gue, dan dia selalu bilang. "Kalo lu perlu pake aja duitnya," enak banget kan? ya iyalah, secara gue udah kayak babunya.
"Cek, lu tau gak survei yang sekarang gue kemana?"
"Papua?"
"Kok tahu?"
"OOn ih, waktu lu kasih liat e-mail ke gue kan dibaca, gak cuman gue liatin doang?"
"Haha, iya yah..Lu tau gak bayarannya sekarang berapa?"
"Berapa?" gak ada nada antusias sama sekali, karena sebenarnya gue juga gak peduli.
"Rp30 juta per bulan dan kali tiga Rp90 juta, cek!"
"Oh"
"Cuman oh?"
"Gue heran ya, duit lu udah banyak dari kerjaan lu kayak gini, terus tiap minggu lu juga masih dapet kiriman dari bokap-nyokap lu di Jakarta dan dikirimnya ke rekening gue juga. Sebenernya, apa sih yang lu cari?"
"Gak tahu, gue seneng jalan-jalannya aja sih, bukan karena duitnya,"
"Terus duit sebanyak ini buat apa? lu belum nikah, kebutuhan lu juga dikit, selama ini yang gue liat lu cuman makan di warteg dan beli buku sama gue, baju lusuh, jarang mandi, kosan yang super murah dan sempit, lu juga jarang jajan ya paling rokok doang,"
"Buat modal nikahin elu"
"Bercanda lu kali ini garing! Gue serius, lu mau nikahin si Lestari kapan?"
"Yaudah kalo gak percaya. Gak tau, gue gak mau nikah cepet-cepet, gue belum keliling Eropa."
"Ajaklah si Lestari, dia pasti seneng,"
"Gak mau, mendingan gue ajak elu."
Perbincangan gue masih berlanjut hingga pukul 19.00 WIB, di kedai langganan gue dan dia. Pemilik kedainya pun sudah tak heran lagi kalo tiap sore bahkan sampai kedai tutup gue sama Anton selalu disana, mulai dari ngerjain tugas, sampai hanya sekedar mengobrol. Tempat duduknya pun selalu sama.
Perbincangan hari terakhir sebelum dia pergi ke Papua untuk melakukan survei.
"Kabarin gue terus ya, jaga kesehatan, hati-hati input datanya jangan sampai salah biar lu gak kerja dua kali," mata gue entah kenapa kali ini mendung, ada perasaan gak rela saat memberi tasnya dia yang sudah gue rapihkan berbagai keperluannya.
Bersambung...............
***
Kehidupan di kampus hampir berakhir, gue dan Anton saat ini mulai disibukan dengan 'skrip-shit' sebenarnya kerangka yang gue punya udah untuk menyusun skripsi udah ada, tinggal masukin data-datanya aja. Tapi, saat ini fokus gue mulai teralihkan gara-gara sikap bodoh si Anton.
"Njir, lu serius? ah elu, bercanda kali ini gak lucu."
"Gue serius Cek, gue mau cabut"
"Kemana? terus skripsi lu?"
"Tolong kerjain ya sama lu, nanti gue bayar deh, terserah lu minta apa aja gue kasih," nadanya emang tak terdengar bercanda, tapi raut wajahnya yang datar selalu berhasil bikin gue bingung. Secara, dia kalo ngomong serius atau bercanda gak ada ekspresinya.
"Ogah! Kerjain sendiri."
Anton pun langsung menunjukan beberapa e-mail yang dikirim ke dia dari sebuah perusahaan survei ternama yang ada di Jakarta.
"Gak, gue gak setuju. Kalo prediksinya meleset gimana? pas lu bimbingan buat skripsi gimana? parahnya kalo lu belum balik pas waktunya sidang gimana?"
Lagi-lagi Anton mengeluarkan jurusnya, memelas, dan kali ini gue gak mempan dengan jurusnya. Tak mau menyerah, Anton kembali menjelaskan tugasnya dia yang hampir tiga bulan. Sebenarnya, gue udah faham, karena dia udah melakoni pekerjaan ini sejak awal ngampus, atau lebih tepatnya sejak pertama kali gue kenal dia.
"Cek, gak nyampe tiga bulan kok yang ini, karena tim-nya hampir 100 orang dari seluruh Indonesia, ini kesempatan emas!"
"Okey, dalam waktu tiga bulan lu gak balik ke Bandung jangan harap masih bisa jadi temen gue," akhirnya gue menyerah.
"Siap kapten, sidang masih 5 bulan lagi, dan gue bakal balik 3 bulan lagi, dan lu orang pertama yang gue temuin."
Anton bekerja dengan beberapa perusahaan survei ternama di Jakarta, setahun dua kali dia pasti ke luar kota untuk survei. Terkadang dalam satu tahun dia bisa tiga kali, dan sekali survei bisa 1-3 bulan, tergantung tempatnya. Lalu kuliahnya? dia hampir di DO (Drop Out)!
Karena pernah gak masuk selama 3 bulan, tapi tugas masuk semua? siapa lagi kalo bukan gue yang ngerjain, jadi faham kan kenapa anak-anak suka sirik banget sama dia? karena dia punya temen sebaik dan sehebat gue, haha... (narsis dikit)
Untungnya lagi, otaknya dia agak pinter dan houmble ke siapa aja, termasuk cenderung yang dekat dengan dekan. Curang!!
Dan selama ini, dia nyimpen semua duitnya di atm gue. Dikira gue emaknya kali ya, yang ngurus keuangannya, udah ngurus tugas dia, ngurus kalo dia mau berangkat, ngurus apapun yang berkaitan dengan dia deh, jadi wajar kalo Lestari (pacarnya) cemburu banget ke gue. Soalnya, si Anton gak pernah cerita hal ini ke pacarnya atau ke keluarganya, cuman ke gue.
Kalo diitung-itung ya, udah ada Rp200 juta lebih duitnya di ATM gue, dan dia selalu bilang. "Kalo lu perlu pake aja duitnya," enak banget kan? ya iyalah, secara gue udah kayak babunya.
"Cek, lu tau gak survei yang sekarang gue kemana?"
"Papua?"
"Kok tahu?"
"OOn ih, waktu lu kasih liat e-mail ke gue kan dibaca, gak cuman gue liatin doang?"
"Haha, iya yah..Lu tau gak bayarannya sekarang berapa?"
"Berapa?" gak ada nada antusias sama sekali, karena sebenarnya gue juga gak peduli.
"Rp30 juta per bulan dan kali tiga Rp90 juta, cek!"
"Oh"
"Cuman oh?"
ft: |
"Gak tahu, gue seneng jalan-jalannya aja sih, bukan karena duitnya,"
"Terus duit sebanyak ini buat apa? lu belum nikah, kebutuhan lu juga dikit, selama ini yang gue liat lu cuman makan di warteg dan beli buku sama gue, baju lusuh, jarang mandi, kosan yang super murah dan sempit, lu juga jarang jajan ya paling rokok doang,"
"Buat modal nikahin elu"
"Bercanda lu kali ini garing! Gue serius, lu mau nikahin si Lestari kapan?"
"Yaudah kalo gak percaya. Gak tau, gue gak mau nikah cepet-cepet, gue belum keliling Eropa."
"Ajaklah si Lestari, dia pasti seneng,"
"Gak mau, mendingan gue ajak elu."
Perbincangan gue masih berlanjut hingga pukul 19.00 WIB, di kedai langganan gue dan dia. Pemilik kedainya pun sudah tak heran lagi kalo tiap sore bahkan sampai kedai tutup gue sama Anton selalu disana, mulai dari ngerjain tugas, sampai hanya sekedar mengobrol. Tempat duduknya pun selalu sama.
Perbincangan hari terakhir sebelum dia pergi ke Papua untuk melakukan survei.
"Kabarin gue terus ya, jaga kesehatan, hati-hati input datanya jangan sampai salah biar lu gak kerja dua kali," mata gue entah kenapa kali ini mendung, ada perasaan gak rela saat memberi tasnya dia yang sudah gue rapihkan berbagai keperluannya.
Bersambung...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar