14/08/15

(6) Teman Tapi Mesra?

Satu Bulan Berlalu....

Anton masih tetap di seberang sana, skripsinya udah beres dari dua minggu yang lalu. Soft file dikirim lewat e-mail, dan setiap malam kita tidak lagi membicarakan dia disana gimana dan gue disini gimana.

Ada pembahasan yang baru, skripsi, skripsi yang dia gue bikin atas nama dia, setiap malam gue tes kemampuannya untuk memahami skripsinya. Kalo gue yang jadi dosen pembimbingnya bakal gue suruh bikin ulang deh, karena tau itu bukan karyanya, hehe.

Tapi karena gue teman yang baik dan sangat mengerti kemampuan otak dia sampai dimana, jadi apa yang gue kasih dia langsung faham dan gak butuh waktu banyak untuk revisi cuman karena dia gak faham.

Perdebatan setiap malam soal bahan skripsinya, ya gue bisa sampai berantem kalo ngobrolin soal tugas, apalagi skripsi bukan hal yang main-main.

Anton termasuk anak yang enak untuk diajak ngobrol soal apapun, ketika dia serius semua yang diucapkan tidak pernah main-main dan selalu ada solusi, tapi kalo dia mulai bercanda maka jangan pernah berharap apa yang dia ucapkan itu bener, karena gue bisa pastikan 90 persen bohong dan 10 persennya hanya dia dan tuhan yang tahu.

"Cape ah, ngomong bener terus dari tadi."

Anton mulai mengalihkan pembicaraan, ya, udah satu minggu ini kita gak bercanda dan selalu serius. Kita mulai menutup obrolan tentang skripsi, dan kita anggap semua selesai dan kita siap menghadapi sidang yang tinggal empat bulan lagi.

"Eh lu tau gak?"

"Apa?"

"Gue lagi nyuekin si Lestari."

"Lah, kenapa emangnya?" ini pertama kalinya gue benar-benar merasa kepo, mungkin karena ini pertama kalinya juga dia mau membuka pembicaraan duluan tentang Lestari.

"Pokoknya ya, rasa nyaman gue udah ilang aja sama dia, dia mulai banyak nuntut, sementara lu taulah gue kayak gimana."

"Ya, lu cuek kayak bebek."

"Haha..."

Anton pun akhirnya mulai menceritakan hal yang berbau pribadi, untuk pertama kalinya dia menceritakan tentang si Lestari, dari awal pertemuan mereka hingga hal-hal detail yang bikin dia tertarik ke Lestari dan hal yang dia gak suka dari sosok ceweknya itu.

Dan untuk pertama kali juga gue merasa tertarik dengan obrolan ini, bukan bermaksud untuk mencampuri kehidupan dia cuman gue ngerasa Anton lagi perlu teman yang untuk mendengarkan. Dan ada beberapa nada yang terdengar bercanda, tak lagi seius. Disanalah gue mulai binggung apa yang dia lagi serius atau bercanda.

Tak terasa dua jam dia cerita sana-sini, hingga sampai dititik dia bilang "Gue mau udahan."

Saat dia bilang gitu gue binggung harus merespon seperti apa. "Gue mau ngelamar seorang gadis yang gue kenal beberapa tahun terakhir," dia melanjutkan, jujur ada rasa sedih sekaligus kecewa saat mendengarnya, siapakah gadis itu? apa gadis yang penah dia ceritakan dulu? gadis Cianjur yang bikin dia terpesona sehingga dia rela bulak-balik Bandung-Cianjur kalo libur.

Ya, dulu dia pernah bilang "Cek, gue kalo libur ke Cianjur terus, lu kapan-kapan ikut ya, gue kenalin," dia yang lebih rela ngabisin liburannya di Cianjur ketimbang pulang ke Jakarta bertemu keluarganya.

Setiap dia bilang Cianjur, gue ngerasa cemburu, entah karena dia udah gak punya waktu main sama gue atau sebenarnya ada hal lain yang gue rasain? gue masih belum bisa menjawabnya.

"Bukan si Lestari yang mau lu lamar?"

"Bukan, ada gadis lain sebenarnya, jauh sebelum gue kenal si Lestari."

"Siapa?" nada gue semakin kepo dan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.

"Haha, sejak kapan lu kepo?"

"Yaudah."

"Ah, mulai deh lu cuman respon, yaudah, ok, terus, terserah, gak papa. Bete tau gak kalo lu udah respon kayak gitu."

Entah kenapa gue ngerasa mulai sedikit emosi, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri obrolan malam ini.


Bersambung....

12/08/15

(5) Teman Tapi Mesra?

"Cek, gue udah di Papua."

"Oh, mulai kerjanya besok?"

"Iya."

"Yaudah, lu istirahat aja, besok pagi sebelum berangkat survei whatsapp gue ya."

***

 

Aneh, tak seperti tahun-tahun sebelumnya, ada perasaan kosong, kegelisahan, dan rindu yang mengebu-gebu. Dia telah pergi. Pergi untuk kembali. Tapi...

Berteman dengan Anton hampir empat tahun, namun baru kali ada perasaan yang aneh saat dia gak ada disamping gue. Entahlah.

Seminggu berlalu, Anton setiap malam selalu memberikan kabar, tepatnya pukul 22.00 WIB. Ya, dia mulai ke lapangan sekitar pukul 05.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB, input data sekitar 10-20 menit, tergantung bahan yang dia temui selama di jalan.

Dia selalu bercerita seputar GPS, lokasi pemandangan yang di deskripsikan dengan detail, ada rawa, pohon bakau, padang rumput, hewan-hewan liar yang dia temui saat menelusuri hutan, cuacanya yang panas, karakter dari setiap suku, lokasi dimana dia tinggal, hingga karakter dari setiap teman-temannya yang tergabung satu tim.

"Cek, lu tau gak, koordinator gue ditawarin nikah sama orang sini loh, haha."

"Terus, lu ditawarin juga gak?"

"Ya kagak lah, lagi pula kalo ditawarin juga gue bakal nunjukin foto seorang perempuan sambil berkata 'dialah calon istriku'."

"Deuh, so iye, paling lu langsung diusir. Haha," jawab gue yang sebenarnya entah kenapa kurang suka mendengarnya.

Semenjak Anton pacaran sama Lestari, dia lebih sering cuek atau bahkan gak peduli. Beberapa kali Lestari nangis dan mengadu ke gue karena hal-hal yang dilakuin Anton. Dibentak, diceukin, atau cemburu karena Anton lebih milih gue buat nemenin dia beli buku daripada ceweknya.

"Lu kenapa nelpon gue terus sih? Lu gak nelpon cewek lu?"

"Udah tadi siang, dia kan gak pernah begadang kayak lu."

"Lu bilang lagi dimana?"

"Lagi main dan dia marah."

Gue hanya bisa tertawa kecil saat mendengar ceritanya, Anton jarang sekali cerita tentang Lestari ke gue, padahal gue suka ingin kepo, tapi gue sadar gak bisa maksa orang dan memaksa bukan sifat gue.

"Eh lu kangen gak sama gue?"

"Kagak."

Anton setiap menelpon selalu nanya gue kangen apa enggak ke dia, pertanyaan yang oon sebenarnya, karena temen mana yang gak kangen sama temen deketnya, apalagi kalo tiap hari ketemu dan tiba-tiba harus ngilang selama tiga bulan.

Tapi gue selalu gengsi untuk bilang kangen. Jadi, ada beberapa hal yang gue manipulasi dengan gaya cuek gue. Beberapa kalimat yang dia ceritakan hanya gue respon dengan kata "yaudah" atau "terserah" dan kalimat itu selalu berhasil bikin dia kesal, tapi anehnya dia lagi-lagi cerita, padahal gue gak pernah nyuruh.

Ya, Anton sosok cowok yang bawel dan hobi banget cerita, gue? sebaliknya, lebih seneng mendengarkan dan memperhatikan orang lain ngobrol.

"Giliran lu dong yang cerita, dari kemarin gue melulu."

"Gue cuman lagi sibuk kuliah dan ngurus dua skripsi."

"Terus?"

"Ya gak terus-terus, mendingan lu lagi yang cerita hari ini kerjaannya gimana? ada yang menarik gak?"

"Tau ah, bete, lu gak mau cerita."

Dan obrolan selalu berakhir selalu tidak enak, karena dia keburu bete. Tapi kita aja, besok malem dia bakalan nelpon gue lagi. Bukan so kepedean, tapi itu yang selalu terjadi sejak empat tahun yang lalu.



Bersambung..............

11/08/15

(4) Teman Tapi Mesra?

Babak baru kehidupan gue Anton masih berlanjut, kali ini, gue yang merasa kehilangan dirinya. Anton pergi.

***

Kehidupan di kampus hampir berakhir, gue dan Anton saat ini mulai disibukan dengan 'skrip-shit' sebenarnya kerangka yang gue punya udah untuk menyusun skripsi udah ada, tinggal masukin data-datanya aja. Tapi, saat ini fokus gue mulai teralihkan gara-gara sikap bodoh si Anton.

"Njir, lu serius? ah elu, bercanda kali ini gak lucu."

"Gue serius Cek, gue mau cabut"

"Kemana? terus skripsi lu?"

"Tolong kerjain ya sama lu, nanti gue bayar deh, terserah lu minta apa aja gue kasih," nadanya emang tak terdengar bercanda, tapi raut wajahnya yang datar selalu berhasil bikin gue bingung. Secara, dia kalo ngomong serius atau bercanda gak ada ekspresinya.

"Ogah! Kerjain sendiri."

Anton pun langsung menunjukan beberapa e-mail yang dikirim ke dia dari sebuah perusahaan survei ternama yang ada di Jakarta.

"Gak, gue gak setuju. Kalo prediksinya meleset gimana? pas lu bimbingan buat skripsi gimana? parahnya kalo lu belum balik pas waktunya sidang gimana?"

Lagi-lagi Anton mengeluarkan jurusnya, memelas, dan kali ini gue gak mempan dengan jurusnya. Tak mau menyerah, Anton kembali menjelaskan tugasnya dia yang hampir tiga bulan. Sebenarnya, gue udah faham, karena dia udah melakoni pekerjaan ini sejak awal ngampus, atau lebih tepatnya sejak pertama kali gue kenal dia.

"Cek, gak nyampe tiga bulan kok yang ini, karena tim-nya hampir 100 orang dari seluruh Indonesia, ini kesempatan emas!"

"Okey, dalam waktu tiga bulan lu gak balik ke Bandung jangan harap masih bisa jadi temen gue," akhirnya gue menyerah.

"Siap kapten, sidang masih 5 bulan lagi, dan gue bakal balik 3 bulan lagi, dan lu orang pertama yang gue temuin."

Anton bekerja dengan beberapa perusahaan survei ternama di Jakarta, setahun dua kali dia pasti ke luar kota untuk survei. Terkadang dalam satu tahun dia bisa tiga kali, dan sekali survei bisa 1-3 bulan, tergantung tempatnya. Lalu kuliahnya? dia hampir di DO (Drop Out)!

Karena pernah gak masuk selama 3 bulan, tapi tugas masuk semua? siapa lagi kalo bukan gue yang ngerjain, jadi faham kan kenapa anak-anak suka sirik banget sama dia? karena dia punya temen sebaik dan sehebat gue, haha... (narsis dikit)

Untungnya lagi, otaknya dia agak pinter dan houmble ke siapa aja, termasuk cenderung yang dekat dengan dekan. Curang!!

Dan selama ini, dia nyimpen semua duitnya di atm gue. Dikira gue emaknya kali ya, yang ngurus keuangannya, udah ngurus tugas dia, ngurus kalo dia mau berangkat, ngurus apapun yang berkaitan dengan dia deh, jadi wajar kalo Lestari (pacarnya) cemburu banget ke gue. Soalnya, si Anton gak pernah cerita hal ini ke pacarnya atau ke keluarganya, cuman ke gue.

Kalo diitung-itung ya, udah ada Rp200 juta lebih duitnya di ATM gue, dan dia selalu bilang. "Kalo lu perlu pake aja duitnya," enak banget kan? ya iyalah, secara gue udah kayak babunya.

"Cek, lu tau gak survei yang sekarang gue kemana?"

"Papua?"

"Kok tahu?"

"OOn ih, waktu lu kasih liat e-mail ke gue kan dibaca, gak cuman gue liatin doang?"

"Haha, iya yah..Lu tau gak bayarannya sekarang berapa?"

"Berapa?" gak ada nada antusias sama sekali, karena sebenarnya gue juga gak peduli.

"Rp30 juta per bulan dan kali tiga Rp90 juta, cek!"

"Oh"

"Cuman oh?"

ft: www.flickr.com
"Gue heran ya, duit lu udah banyak dari kerjaan lu kayak gini, terus tiap minggu lu juga masih dapet kiriman dari bokap-nyokap lu di Jakarta dan dikirimnya ke rekening gue juga. Sebenernya, apa sih yang lu cari?"

"Gak tahu, gue seneng jalan-jalannya aja sih, bukan karena duitnya,"

"Terus duit sebanyak ini buat apa? lu belum nikah, kebutuhan lu juga dikit, selama ini yang gue liat lu cuman makan di warteg dan beli buku sama gue, baju lusuh, jarang mandi, kosan yang super murah dan sempit, lu juga jarang jajan ya paling rokok doang,"

"Buat modal nikahin elu"

"Bercanda lu kali ini garing! Gue serius, lu mau nikahin si Lestari kapan?"

"Yaudah kalo gak percaya. Gak tau, gue gak mau nikah cepet-cepet, gue belum keliling Eropa."

"Ajaklah si Lestari, dia pasti seneng,"

"Gak mau, mendingan gue ajak elu."

Perbincangan gue masih berlanjut hingga pukul 19.00 WIB, di kedai langganan gue dan dia. Pemilik kedainya pun sudah tak heran lagi kalo tiap sore bahkan sampai kedai tutup gue sama Anton selalu disana, mulai dari ngerjain tugas, sampai hanya sekedar mengobrol. Tempat duduknya pun selalu sama.

Perbincangan hari terakhir sebelum dia pergi ke Papua untuk melakukan survei.

"Kabarin gue terus ya, jaga kesehatan, hati-hati input datanya jangan sampai salah biar lu gak kerja dua kali," mata gue entah kenapa kali ini mendung, ada perasaan gak rela saat memberi tasnya dia yang sudah gue rapihkan berbagai keperluannya.

Bersambung...............