31/03/14

Media Sosial - Part 1 -

SEORANG gadis berlari ditengah malam, dirinya nampak tergesah-gesah menuju rumah kosan tempat dimana ia biasa merebahkan tubuhnya yang sudah lelah. Saat itu, waktu sudah menujukan perpindahan hari, lingkaran jam munggil di lengan kurusnya sering kali dilirik tiap lima detik sekali.

Hidup di kota jantungnya Indonesia, dimana para petinggi negeri yang mengoperasikan untuk kemajuan bangsa demi kesejahteraannya. Tahun 2014, merupakan sebuah tahun demokrasi. Ribuan kursi mulai dari tingkat DPRD hingga DPRI sedang diperebutkan 9 April mendatang. Tepat pukul 01.00 Wib, dirinya sampai di dalam kamar kosan yang berkuran 5x5 meter.

Laptop yang berada diatas kasur segera dia buka. Ya, gadis itu menunggu pesan balasan dari e-mail yang tempo hari pernah dikirimkan ke salah satu perusahaan penerbangan ternama yang ada di Bandara Soekarno Hatta. "Sial, masih aja belum dapet balasan," kelutusnya dalam benak yang tidak bisa diutarakan.

Gadis berambut lurus, hitam, dan panjang tersebut saat ini bekerja sebagai salah seorang call centre di perusahaan yang beroperasi selama 24 jam. Memiliki nama lengkap, Harmony Topazia atau lebih akrab disapa Mony

"Negeri para bedebah, apa gunanya demokrasi? jika yang semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk akan kemiskinannya?" Mony yang terlihat geram saat melihat beberapa 12 parpol sedang bersaing dan berlomba-lomba merebut hati rakyat melalui iklan yang selalu ada disetiap selinggan acara.

Mony gadis berusia 20 tahun, bukan hanya kerja melainkan juga kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta, mengambil jurusan Ilmu Sastra Indonesia, karena memiliki cita-cita untuk menjadi seorang sejarahwan akan perkembangan pendidikan dan struktur kata Bahasa Indonesia dalam pengucapan sehari-hari.

Tidak heran, sudah ratusan cerpen juga dikeluarkan oleh Mony dan diterbitkan ke beberapa percetakan koran dan majalah baik lokal maupun nasional. Jika sudah mulai suntuk dan tidak memiliki bahan untuk tulisan, pelarian ke media sosial seperti Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp, Telegram, Path, dan Instagram sering kali membuat dirinya menjadi terlihat autis jika bersama teman-temannya.

Karena sudah seringkali menjadi bahan ejekan, maka Mpny memutuskan untuk menyimpan semua gadgetnya di rumah kecuali hape standar untuk SMS dan telepon. Ya, disinilah kita itu dimulai ...

Tersambung ke internet, Mony mampu menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk browsing. Mulai referensi kuliner masakan, fashion update, gadget terbaru, gosip selebritis, dan lain sebagainya. Klik login, username, password. Twitter dengan akun @penamony ada 100 pemberitahuan sejak pagi, satu persatu mention followernya di replay, dengan gaya kocak serta hangat dalam mengobrol merupakan salah satu kepribadian Mony yang sangat disukai oleh semua kawannya.

Dibandingkan media sosial yang lain, Mony lebih nyaman berkomunikasi lewat twitter. Hanya sesekali dirinya membuka akun sosial yang lain.

Asyik bermain twitter, tidak terasa waktu adzan subuh terdengar nyaring di kamar kosan Mony yang berdekatan dengan masjid. "Mumpung hari ini gue off kerja, dan kuliah juga libur, jadi gue pamit solat dan tidur ya, sampai ketemu nanti siang di user yang sama" tweet Mony dan langsung logout.

Setelah logout, hal pertama yang dilakukan Mony adalah cek jadwal hari itu. "Yes, janji sama anak-anak komunitas ICI nanti sore, jadi gue bisa beres-beres rumah habis solat, tidur, masak, mandi, dan berangkat deh," celoteh Mony sambil menuliskan rangkaian kegiatan dibuku saku miliknya.

________ bersambung

Mereka Yang Sudah Tiada

Dulu, saat aku kehilangan orang yang disayang, beliau ada disamping kanan ku, tangan kirinya merangkul pundak ku yang saat itu lemah tak bertenaga. Lalu, tangan kanan beliau menghapuskan air mata yang terus mengalir. Bibirnya hanya tersenyum memandang wajah yang saat itu aku hanya bertatap kedepan dengan tatapan kosong, ya.. aku tau beliau tidak ingin aku bersedih saat itu, rangkulan hangatnya mencoba menyadarkan aku bahwa semua cepat atau lambat akan dirasakan oleh semua orang.

"Nangislah sekarang, habiskan semua air mata kesedihan Nik. Biar suatu saat nanti Nik tidak nangis lagi," akhirnya lontaran dari kata beliau terucap dengan lembut.

Saat itu, gadis berusia 18 tahun hanya mampu membisu, air mata yang tidak diinginkan keluar, tiba-tiba saja mengalir dengan derasnya tanpa perintah logika. "Ini adil gak sih pa?" akhirnya kalimat pertama aku hari itu terdengar.

Beliau sejenak diam dan aku merasakan sebuah kekakuan yang terasa. Tangan kanannya berubah menjadi memeluk aku dengan sangat kencang, pelukan hangat yang dirasakan, pelukan kerinduan seorang ayah, pelukan yang seakan-akan ingin terus melindungi. "Kamu, masih punya saya. Saya bisa jadi Ayah kamu,"

Saat itu aku tidak bisa berfikir jernih, yang aku lakukan hanya balik memeluk dan air mata kembali mengalir dengan derasnya.(*)