09/01/14

Jakarta #3-Habis


TINGGAL hitungan bulan lagi aku bersekolah, sangat tidak terasa hampir tiga tahun aku tidak pulang di desa dan masih menjadi anak perantau di kota Jakarta. Kini sebelum menjelang Ujian Nasional aku semakin khawatir, apakah aku akan lulus atau malah sebaliknya.

Sebuah rasa takut yang selalu menyelimutiku, aku ingin membuktikan keberhasilan dengan menjadi siswa teladan dengan segudang prestasi tanpa bantuan orangtua sama sekali, aku ingin membuktikan kepada keluaraga dan orang-orang di desa bahwa aku mampu mewujudkan mimpi yang aku miliki menjadi sebuah kenyataan.

Terkadang ada rasa marah ketika aku mulai kangen kepada keluarga di desa, namun bukan marah kepada diriku sendiri yang memutuskan untuk pergi ke Jakarta, namun rasa marah mengapa tidak ada yang mencariku selama tiga tahun ini. “Apakah mereka benar-benar membenciku?,” sebuah pertanyaan yang selalu aku lemparkan kepada fikiranku sendiri.

**

Hari ini adalah hari penentuanku lulus atau tidaknya dari sekolah yang sudah memberikanku banyak kenangan, berbagai warna tentang kehidupan sudah ku pelajari, namun aku masih anak berusia 17 tahun yang terkadang bingung akan diriku sendiri.

Dengan bertukar fikiran dengan orang yang lebih dewasa membuatku semakin sadar akan keputusan yang tidak bisa diambil sendiri dengan satu sudut pandang, “Segala sesuatu harus terus dipertimbangkan dengan melihat dari berbagai sudut, sehingga tidak ada rasa penyesalan yang nantinya kamu ambil,” tutur sobat terbaikku, Toni.

Sebuah surat yang menyatakan bahwa aku LULUS adalah hal terindah yang pernah aku dapatkan, meskipun aku pernah mengalami hal ini ketika duduk di SD dan SMP, tapi kali ini sangat berbeda. Aku berjuang seorang diri tanpa bantuan dari keluarga.


“Toni, aku lulus,” teriakku sambil melompat ke tubuh Toni hingga jatuh. Hanya senyum hasnya yang Toni berikan kepada diriku, tanpa ada ucapan selamat atau sebuah hadiah yang dia berikan kepadaku.

Dengan sedikit heran aku bertanya, ada apa Toni? Apakah kamu tidak bahagia melihat aku bahagia. Toni hanya menatapku tajam tanpa bersuara. “Kenapa?” terus tanyaku tanpa henti, hingga akhirnya Toni berkata.

“Kamu harus pulang ke Desa, tiga tahun kamu tidak memberikan kabar ke orangtua ataupun keluarga kamu, apakah kamu tidak kangen dengan mereka?,” ucapnya dengan nada yang sanagt lembut.
Saat itu aku tidak mampu berkat apa-apa selain menangis, namun Toni terus menatap aku dengan sangat tajam. Tatapan yang tidak pernah dia keluarkan sebelumnya, Toni biasanya selalu menatapku dengan hangat dan kasih sayang, namun kali ini sangat berbeda.

“Kenapa kamu menangis? Pulang lah, aku antar kamu ke Desa, berikan kabar bahagia ini kepada mereka,” ucap Toni sambil memegang lenganku dengan sangat erat.

Aku tertunduk, bingung sama apa yang harus dilakukan, disatu sisi aku sangat merindukan keluargaku di desa, di satu sisi aku masih sangat marah karena tidak ada yang mencariku. Aku mungkin terkesan egois tapi itu yang aku rasakan.

“Akan aku lamar kamu dihadapan keluargamu, dengan begitu kamu akan semakin aman berada di Jakarta,” papar Toni yang berhasil membuatku tersontak.

Dengan wajah yang penuh air mata aku berkata, apakah kamu serius dengan ucapanmu? Selama ini kita tidak pernah pacaran, kita hanya berteman dan apa alasanmu berkata seperti itu? Selain itu, kamu tahu bahwa aku bukan orang menengah atas seperti keluargamu.

Sambil memelukku, Toni berkata dengan hangatnya. “Aku mencintaimu sejak awal kita bertemu, selama ini aku tidak pernah menembakmu sebagai pacarku, karena aku tidak ingin pacaran dan selama ini tanpa kamu sadari aku sudah ta’aruf dengan dirimu. Dengan begitu aku yakin bahwa kamu adalah wanita yang sangat spesial,” (*)

Jakarta #2


INI tahun ke dua yang ku lewati di kota metropolitan. Jakarta. Sama seperti tahun lalu, aku masih terus berjuang dengan sekelumit masalah yang setiap harinya selalalu berbeda, aku terkadang ingin tertawa melihat tingkah orang Jakarta yang menganggap aku adalah pesaing yang sangat kuat, padahal aku hanya anak kampung yang melarikan diri ke Ibu kota demi mencari impian yang ingin ku capai.

Kota ini penuh misteri, semua orang bisa berubah dalam hitungan seperkian detik. Aku tau, aku belum mengenal benar kota ini. Tapi yang aku mengerti, kota ini penuh dengan kepalsuan yang dibuat oleh penghuninya sendiri, terkadang kita tidak boleh terlalu polos dengan keadaan yang mungkin saja itu hanya sebuah jebakan batman.

Tahun ke dua itu tandanya aku sudah kelas dua SMA, aku tidak ingin mendapatkan beasiswa karena status aku yang miskin dan hanya seorang anak perantau, aku tidak ingin hanya menjadi seorang perantau yang tidak tahu arah tujuan datang ke sini yang akhirnya malah menjadi sampah masyarakat.

Teman-temanku kini tak lagi memandang aku hanya seorang anak yang so datang ke Ibu kota cuma berbekal nasip, tapi mereka mulai menghargai ku karena aku anak yang sudah membuktikan bahwa aku bisa mengalahkan kalian semua dengan kecerdasan yang dimiliki dan dengan tekat yang kuat.
Di sekolah aku mengikuti Organisasi Siswa Intra Sekolah (Osis), dan tahun ini aku terpilih menjadi ketua Osis yang sama sekali tak ku harapkan. Saat itu aku hanya berorasi asal tanpa di fikir, karena aku memang tidak menginginkan hal tersebut terjadi..

“Selamat untuk Anez Fernando Cyla yang tahun ini menjadi ketua Osis,” ujar seseorang di dalam speaker. Sontak teman-teman sekelas langsung kasih ucapan selamat. Bagiku itu semua mimpi buruk, karena aku harus menanggung pertanggung jawaban baik untuk di sekolah ataupun untuk untuk di akhirat.

“Jangan mau kamu menjadi seorang pemimpin, karena pemimpin itu akan di tuntut pertanggung jawaban nya dan bukan hanya di dunia, namun di akhirat,” ujar bapak ketika aku mulai menginjakan kaki di sekolah dasar di desaku.

Berhari-hari aku menjalani hari sebagai ketua Osis yang sangat menyita waktu dan fikiranku, belum lagi harus ada rapat untuk event-event sekolah. Namun ada setitik keberkahan ketika aku menjadi ketua Osis.

Uang sekolah di gratiskan karena prestasi aku di akademik yang meningkat, prestasi para pelajar semakin meningkat dan event-event sekolah yang selalu mendapatkan pujian dari banyak pihak.

Kini aku sudah tak lagi pusing memikirkan uang untuk sekolah, rezeki yang di berikan oleh Alloh tak hanya itu, aku juga di berikan satu ruangan kosong di sekolah untuk aku tempati, walau tidak gratis. Aku tetap berkerja membersihkan sekolah sebelum anak-anak datang.

Uang saku yang di berikan untuk pihak sekolah juga sangat aku syukuri, aku merasa ini salah satu hasil manis yang aku perjuangkan selama satu tahun di Jakarta. Kini aku semakin fokus dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Baik itu tugas aku di Osis, tugas sekolah, dan pekerjaan yang sudah ada.

Next..

Jakarta #1

NEZ, itulah panggilan teman-teman keapadaku. Kalian tidak perlu tahu siapa namaku yang sesungguhnya karena aku sendiri saja hampir lupa akan nama lengakapku sendiri. Dan mungkin hanya seorang sahabatku yang tahu siapa nama lengkapku.

Hidup seorang diri di Jakarta bukan lah yang sangat mudah, beberapa kali aku hampir jatuh kedalam lubang setan yang mungkin bakal bikin aku menyesal seumur hidup, untungnya ada Toni sahabat sekaligus guru spiritual bagiku.

Aku menginjakkan kaki di Jakarta sejak SMA kelas satu hingga sekarang, percaya atau tidak aku kabur dari desa ku yang sangat terpencil di sebuah daerah jawa barat. Aku kabur ke Jakarta demi ingin meneruskan sekolah yang lebih tinggi seperti impian ku selama ini, aku banting tulang hingga rarut malam usai pulang sekolah.

Bukannya narsis, tapi aku anak yang cukup pintar di kelas. Trebukti dari semua nilai ku yang bagus dan setiap ulangan aku tak pernah di ulang. Aku tidak mencontek loh, karena itu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Aku belajar sehabis salat subuh walau hanya sekedar mengerjakan tugas rumah yang di berikan oleh guru.

Mungkin aku tidak punya waktu luang yang sangat banyak untuk belajar karena sibuk berkerja, kalo tidak bekerja aku tidak akan mungkin bisa makan, aku juga tidak akan bisa bayar uang sekolah.
Terkadang aku sering merasakan rindu ke mamah yang mungkin saja mencariku atau mungkin tidak, entahlah. Kini aku terus focus sama sekolah ku. Setiap hari selalu ada aja cobaan dari teman sebaya, entah mereka mengajak ke dunia malam yang kata mereka sih itu sangat asik. Tapi kata aku itu sangat menghamburkan uang, sangat di maklumi. Mereka tidak mengerti apa arti hidup itu yang sebenarnya, mereka tidak tau seberapa penting nilai uang itu bagi aku.

Aku mungkin seseorang yang sangat beruntung karena punya sahabat seperti Toni, dia anak orang kaya tapi di sangat baik, aku mengenal toni waktu pertama kali menginjak kan kaki di Jakarta, Stasiun. Kayak sinetron aja yah. Hihi..

Aku sedikit lupa sih kenapa tiba-tiba aku sangat dekat dengan dirinya, tapi yang paling aku ingat dia terus membuktikan bahwa di bukan orang jahat dan hanya ingin menolongku.

Toni seorang mahasiswa yang cerdas dan ganteng, dia selalu menceramahi ku jika aku melakukan sesuatu yang buruk, entah itu kelakuan atupun ucapan. Kata-kata Toni yang selalu aku ingat.

“Hidup di Jakarta harus rela di korbankan, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki. Kamu kalo mau hidup di Jakarta jangan pernahg putus asa dan buktikan kepada mereka kamu mampu mengalahkan orang kota,”

Kata-kata itu yang selalu memotivasi aku jika aku sudah mulai keluar dari koridor ke agamaan, Toni selalu siap menerrangkan jika ada pelajaran yang tidak bisa aku kuasai, dan lagi-lagi Toni berkata. 

“Kamu bukannya tidak bisa, tapi kamu belum bisa,”

Next ----