TINGGAL hitungan bulan lagi aku bersekolah, sangat tidak terasa hampir tiga tahun aku tidak pulang di desa dan masih menjadi anak perantau di kota Jakarta. Kini sebelum menjelang Ujian Nasional aku semakin khawatir, apakah aku akan lulus atau malah sebaliknya.
Sebuah rasa takut yang selalu
menyelimutiku, aku ingin membuktikan keberhasilan dengan menjadi siswa teladan
dengan segudang prestasi tanpa bantuan orangtua sama sekali, aku ingin
membuktikan kepada keluaraga dan orang-orang di desa bahwa aku mampu mewujudkan
mimpi yang aku miliki menjadi sebuah kenyataan.
Terkadang ada rasa marah ketika
aku mulai kangen kepada keluarga di desa, namun bukan marah kepada diriku
sendiri yang memutuskan untuk pergi ke Jakarta, namun rasa marah mengapa tidak
ada yang mencariku selama tiga tahun ini. “Apakah mereka benar-benar membenciku?,”
sebuah pertanyaan yang selalu aku lemparkan kepada fikiranku sendiri.
**
Hari ini adalah hari
penentuanku lulus atau tidaknya dari sekolah yang sudah memberikanku banyak
kenangan, berbagai warna tentang kehidupan sudah ku pelajari, namun aku masih
anak berusia 17 tahun yang terkadang bingung akan diriku sendiri.
Dengan bertukar fikiran
dengan orang yang lebih dewasa membuatku semakin sadar akan keputusan yang
tidak bisa diambil sendiri dengan satu sudut pandang, “Segala sesuatu harus
terus dipertimbangkan dengan melihat dari berbagai sudut, sehingga tidak ada
rasa penyesalan yang nantinya kamu ambil,” tutur sobat terbaikku, Toni.
Sebuah surat yang menyatakan
bahwa aku LULUS adalah hal terindah yang pernah aku dapatkan, meskipun aku
pernah mengalami hal ini ketika duduk di SD dan SMP, tapi kali ini sangat
berbeda. Aku berjuang seorang diri tanpa bantuan dari keluarga.
“Toni, aku lulus,” teriakku
sambil melompat ke tubuh Toni hingga jatuh. Hanya senyum hasnya yang Toni
berikan kepada diriku, tanpa ada ucapan selamat atau sebuah hadiah yang dia
berikan kepadaku.
Dengan sedikit heran aku
bertanya, ada apa Toni? Apakah kamu tidak bahagia melihat aku bahagia. Toni
hanya menatapku tajam tanpa bersuara. “Kenapa?” terus tanyaku tanpa henti,
hingga akhirnya Toni berkata.
“Kamu harus pulang ke Desa, tiga
tahun kamu tidak memberikan kabar ke orangtua ataupun keluarga kamu, apakah
kamu tidak kangen dengan mereka?,” ucapnya dengan nada yang sanagt lembut.
Saat itu aku tidak mampu
berkat apa-apa selain menangis, namun Toni terus menatap aku dengan sangat
tajam. Tatapan yang tidak pernah dia keluarkan sebelumnya, Toni biasanya selalu
menatapku dengan hangat dan kasih sayang, namun kali ini sangat berbeda.
“Kenapa kamu menangis? Pulang
lah, aku antar kamu ke Desa, berikan kabar bahagia ini kepada mereka,” ucap
Toni sambil memegang lenganku dengan sangat erat.
Aku tertunduk, bingung sama
apa yang harus dilakukan, disatu sisi aku sangat merindukan keluargaku di desa,
di satu sisi aku masih sangat marah karena tidak ada yang mencariku. Aku mungkin
terkesan egois tapi itu yang aku rasakan.
“Akan aku lamar kamu
dihadapan keluargamu, dengan begitu kamu akan semakin aman berada di Jakarta,”
papar Toni yang berhasil membuatku tersontak.
Dengan wajah yang penuh air
mata aku berkata, apakah kamu serius dengan ucapanmu? Selama ini kita tidak
pernah pacaran, kita hanya berteman dan apa alasanmu berkata seperti itu?
Selain itu, kamu tahu bahwa aku bukan orang menengah atas seperti keluargamu.
Sambil memelukku, Toni
berkata dengan hangatnya. “Aku mencintaimu sejak awal kita bertemu, selama ini
aku tidak pernah menembakmu sebagai pacarku, karena aku tidak ingin pacaran dan
selama ini tanpa kamu sadari aku sudah ta’aruf dengan dirimu. Dengan begitu aku
yakin bahwa kamu adalah wanita yang sangat spesial,” (*)