MALAM begitu sunyi, tak ada getar pesan masuk darimu sejak dua pekan ini. Aku terus memandangi jam yang seakan mentertawakan kebodohan ku, ya, aku ingin cepat menemuimu.Hanya itu pinta ku.
Aku ingin cepat bertemu dengan mu, menyelesaikan semua kesalahfahaman kita. Emosi mu yang sulit sekali reda, membuatku berfikir kita sejak awal memang sudah tidak satu frekuensi. Seharusnya aku menyadari itu lalu melepaskan mu sebelum akhirnya kita terlibat akan kisah yang begitu panjang seperti hari ini.
"Halo?" ucapku.
Tau kah kamu, sedetik saja aku merasa bahagia karena akhirnya kau mengangkat telepon dari ku. Namun, kau terus menerus diam. Kita berada ke saluran yang sama yang dibalut keheningan berlarut.
"Kalau kamu gak mau ngomong gak papa, biar aku saja yang bicara," kembali ku ucapkan kalimat untuk memecah keheningan.
"Maaf, aku terlalu mengengkang mu dengan pikiran ku tanpa mempedulikan pikiran dan perasaan mu. Keputusan ku untuk mengakhiri hubungan ini bukanlah hal mudah, lima tahun bukan waktu yang sebentar."
"Maaf, karena kamu sudah membuang-buang waktu selama ini untuk pria seperi aku."
Keheningan kembali terasa. Hanya hembusan nafasnya yang bisa ku dengar.
"Ucapan ku tempo hari.."
"Sudah, jangan dilanjutkan." Akhirnya kau berbicara, walaupun harus menyela ucapan ku. Tak mengapa, aku senang saat kau membuka suara untuk ku.
"Rafael, aku juga salah. Seharusnya aku melepaskan mu sejak tiga bulan kita berpacaran." ucapannya kali ini sungguh membuatku terkejut. Tiga bulan, sama saja hampir lima tahun kita berpacaran lho. Kali ini otak aku mulai berlarian, memikirkan kembali kejadian tiga bulan pertama kita berpacaran.
"Sejak saat itu, aku sudah yakin bahwa kita gak akan bisa bersama. Tapi aku yang sudah lelah harus memulai kembali hubungan dari awal memaksa ku untuk tetap bertahan dengan mu. Seharusnya aku yang meminta maaf kepada mu, aku yang salah."
"Tapi, percayalah selama itu juga hingga hari ini aku terus berusaha menjadi wanita yang kau inginkan, Aku berusaha sebisanya, aku berubah menjadi wanita yang dambakan yang sebenarnya bertolak belakang dengan diriku. Aku menjadi seringkali berbohong agar kamu tidak menjadi marah. Aku menjadi seringkali marah karena hal sepele jika aku merasa dititik putus asa dan merasa tidak dihargai oleh mu, sementara aku berpikir sudah melakukan yang terbaik. Maaf aku memang sejak awal tidak bisa membahagiakan mu."
Kali ini aku yang diam, aku gak bisa mengerti bahagaimana mungkin wanita yang ku pacari selama lima tahun harus bersusah payah membahagiakan ku tanpa aku sadari. Wanita yang berusaha menghilangkan jatidirinya demi menjadi wanita impian ku? Ini aku yang terlampau egois atau dia yang bodo?. Pertanyaan itu terus menyelimuti pikiran ku.
Telepon yang terhubung selama hampir 30 menit itu pun akhirnya terputus, ada sedikit perasaan lega yang menyelimuti ku. Semoga saja dia pun demikian. Aku kini faham, keputusan ku tidak sepenuhnya salah. Aku telah melepaskan beban beratanya selama lima tahun terakhir. Aku yang telah memenjarakannya selama lima tahun terakhir ini.
"Selamat tinggal, berbahagialah."
Aku ingin cepat bertemu dengan mu, menyelesaikan semua kesalahfahaman kita. Emosi mu yang sulit sekali reda, membuatku berfikir kita sejak awal memang sudah tidak satu frekuensi. Seharusnya aku menyadari itu lalu melepaskan mu sebelum akhirnya kita terlibat akan kisah yang begitu panjang seperti hari ini.
"Halo?" ucapku.
Tau kah kamu, sedetik saja aku merasa bahagia karena akhirnya kau mengangkat telepon dari ku. Namun, kau terus menerus diam. Kita berada ke saluran yang sama yang dibalut keheningan berlarut.
"Kalau kamu gak mau ngomong gak papa, biar aku saja yang bicara," kembali ku ucapkan kalimat untuk memecah keheningan.
"Maaf, aku terlalu mengengkang mu dengan pikiran ku tanpa mempedulikan pikiran dan perasaan mu. Keputusan ku untuk mengakhiri hubungan ini bukanlah hal mudah, lima tahun bukan waktu yang sebentar."
"Maaf, karena kamu sudah membuang-buang waktu selama ini untuk pria seperi aku."
Keheningan kembali terasa. Hanya hembusan nafasnya yang bisa ku dengar.
"Ucapan ku tempo hari.."
"Sudah, jangan dilanjutkan." Akhirnya kau berbicara, walaupun harus menyela ucapan ku. Tak mengapa, aku senang saat kau membuka suara untuk ku.
"Rafael, aku juga salah. Seharusnya aku melepaskan mu sejak tiga bulan kita berpacaran." ucapannya kali ini sungguh membuatku terkejut. Tiga bulan, sama saja hampir lima tahun kita berpacaran lho. Kali ini otak aku mulai berlarian, memikirkan kembali kejadian tiga bulan pertama kita berpacaran.
"Sejak saat itu, aku sudah yakin bahwa kita gak akan bisa bersama. Tapi aku yang sudah lelah harus memulai kembali hubungan dari awal memaksa ku untuk tetap bertahan dengan mu. Seharusnya aku yang meminta maaf kepada mu, aku yang salah."
"Tapi, percayalah selama itu juga hingga hari ini aku terus berusaha menjadi wanita yang kau inginkan, Aku berusaha sebisanya, aku berubah menjadi wanita yang dambakan yang sebenarnya bertolak belakang dengan diriku. Aku menjadi seringkali berbohong agar kamu tidak menjadi marah. Aku menjadi seringkali marah karena hal sepele jika aku merasa dititik putus asa dan merasa tidak dihargai oleh mu, sementara aku berpikir sudah melakukan yang terbaik. Maaf aku memang sejak awal tidak bisa membahagiakan mu."
Kali ini aku yang diam, aku gak bisa mengerti bahagaimana mungkin wanita yang ku pacari selama lima tahun harus bersusah payah membahagiakan ku tanpa aku sadari. Wanita yang berusaha menghilangkan jatidirinya demi menjadi wanita impian ku? Ini aku yang terlampau egois atau dia yang bodo?. Pertanyaan itu terus menyelimuti pikiran ku.
Telepon yang terhubung selama hampir 30 menit itu pun akhirnya terputus, ada sedikit perasaan lega yang menyelimuti ku. Semoga saja dia pun demikian. Aku kini faham, keputusan ku tidak sepenuhnya salah. Aku telah melepaskan beban beratanya selama lima tahun terakhir. Aku yang telah memenjarakannya selama lima tahun terakhir ini.
"Selamat tinggal, berbahagialah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar